How Emergency Room reminds me the measurement of “Friendship and Love”

Someone
3 min readNov 17, 2020

Disini saya bukanlah bercerita mengenenai keluh kesah saya ketika bekerja. Tidak menceritakan suatu diagnosa melainkan sebuah prosa.

Ada manusia yang buat saya sadar (yang tadinya sudah sadar, bertambah sadar) bahwa pekerjaan saya ini adalah suatu ‘anugerah’. Lelah yang saya rasakan tidak sebanding dengan anugerah yang luar biasa ini. Why so? begitu banyak individu yang saya temui, berbagai ‘bentuk’, figur, dan cerita di balik layar mereka. Begitu banyak saya belajar.

Hari itu, seorang lelaki, berusia 49 th, dengan keluhan tidak dapat menggerakan tangan dan kaki kanannya sama sekali. Tidak dapat berbicara sepatah katapun. Ia diantar oleh adiknya. Ketika saya bertanya bagaimana kejadiannya, adiknya mengatakan tidak tahu menahu kejadian persisnya, hanya menemukan kakaknya dirumah dalam keadaan tersebut. Menurut adiknya, pasien selalu mengabarinya setiap hari pukul 07.00, namun tidak di hari itu. Pasien ini tidak memiliki anak, ataupun seorang istri. Ia hidup sendiri, di rumahnya.

“Oh, apakah ini salah satu alasan seseorang memiliki teman hidup?” pikir saya.

Beberapa hari kemudian, seorang laki laki datang ke IGD, berusia 75 th, datang dengan keluhan sudah lemas selama 1 bulan, berjalan sendiripun tak bisa, harus dipapah, tidak bisa makan, dan berbagai keluhan lainnya. Ketika datang moment untuk mengisi data lebih detail mengenai kondisi pasien guna untuk melakukan sebuah tindakan, datanglah istrinya kepada saya dan berkata, “Permisi dok, maaf. Saya adalah istri pertama pasien, namun telah 7 tahun dia meninggalkan saya dengan istri mudanya. Baru 1 bulan yang lalu dia muncul kembali, setelah istri keduanya meninggalkan dia karena sakit ini. Saya kasihan sekali dengan dia. Jadi maaf dok, saya tidak mengetahui riwayat bapak 7 tahun terakhir karena saya tidak bersama dia.” Tidak lama istrinya kembali ke tempat tidur suaminya, dan mengelus rambutnya seraya berkata “Sayang.. sabar ya.”

“Hmm.. okay too much information. Namun, luar biasa sekali ibu ini, bersedia dengan tulus menemani suaminya meski telah ditinggal dan datang hanya ketika dibutuhkan. Apa ini suatu bentuk cinta atau ‘pertemanan’?” pikir saya.

Terlintas banyak hal di kepala saya saat itu, selain kemungkinan diagnosa dan penatalaksanaan lebih lanjut untuk pasien pasien ini, tapi juga sebuah pertanyaan, “Is love overrated? Is friendship underrated?”.

Tampak mellow? Tidak.

I used to really into relationships. I “worshipped” what i had with my partners at that time. But then, as I’m getting older, having various forms of ‘relationships’, seeing and hearing the stories of several relatives and friends regarding the ‘love’ story of his life, made me questioning everything, more and more.

Is this naive? I used to think that getting married must be with our loved ones. However, love itself has a broad meaning. Right now, I’m thinking what kind of love that we want to have towards our partner?

Is comfort and friendship not enough? or do we need the L-O-V-E itself?

Aristotle defines love as: “Let to philein (philos — bukan pilus yee, kacang dong — unimpassioned love, more a liking, affection or fondness) be wishing for someone the things that he deems good, for the sake of that person and not oneself”.

Plato defines love as: “Levels of closeness to wisdom and true beauty from carnal attraction to individual bodies to attraction to souls, and eventually, union with the truth.”

Di usia tertentu akan ada titik dimana kita berpikir ada orang yang dapat menemani dan menjaga kita di usia tua saja sudah lebih dari cukup.

Di masa yang lebih dini, banyak yang berpikir bahwa cinta sangat berperan penting dan satu satunya yang ‘nyata’ di dunia.

Dimana hal ini tentu akan berujung dengan pengharapan ke sebuah pernikahan. Padahal ‘institusi’ ini sendiri bukanlah membutuhkan sekedar cinta — prinsip, finansial, etc diuji disini. Kalau kata kakak saya yang sudah menikah bertahun-tahun, “makan tu cinta”. Kembali saya berpikir lagi.

Menikah itu mencari teman hidup. Butuh cinta ga ya kalo hidup sama temen?

Kembali lagi ke pertanyaan utama disini, is love overrated? I still cannot get the exact answer. In my opinion, I think it is.

“Here and there on earth we may encounter a kind of continuation of love in which this possessive craving of two people for each other gives way to a new desire and lust for possession — a shared higher thirst for an ideal above them. But who knows such love? Who has experienced it? Its right name is friendship.”

The Gay Science by Nietzsche, 1882.

Is friendship underrated? I think it is.

What do you think?

--

--