Present-self vs Future-self

Someone
3 min readFeb 24, 2021

Petang ini, dikerumunan keramaian, dengan suara gemuruh percakapan orang orang, diselingi suara tipis dari headset saya mengayunkan karya Erik Satie. Saya mencoba mendalami apa yang saya rasakan kembali. Trying to really feel the exact true-feeling, without denying, without lying to my present-self and probably my future-self. To know where I stand. To figure what do I want to do and be.

Kapan terakhir dirimu terbelenggu oleh dirimu sendiri hingga kamu buta akan dunia luar, mengabaikan apa yang matamu lihat dan perasaan yang SE.SUNG.GUH.NYA kau rasakan. Ramainya gema hati dan pikiran itu hingga kamu lupa untuk berkaca. Apa yang saya rasa? Apa yang salah?

Terkadang kita berpikir untuk menjauh dari keramaian luar untuk memiliki waktu untuk diri kita sendiri dan mengenal diri. Padahal ternyata kebisingan itu dimiliki oleh derunya hati dan pikiran diri, ketika berada dalam sendiri. Tidak akan pernah ada habisnya kamu mencari “Zen”, bahkan hingga ke Zermatt, Whitsundays, atau bahkan Rovaniemi. Ketenangan yang kita cari selama ini apakah sudah berasal dari dalam?

Apa saat ini kamu merasa tenang dengan apa yang kau miliki? Atau justru kamu tenang karena sesuatu yang tidak kau miliki?

Kedua hal ini bisa menjadi renungan yang tidak akan pernah kunjung habisnya. However, it is worth thinking about.

Konsep aksi — reaksi oleh Newton bisa kita terapkan dalam beberapa proses dalam kehidupan yang kita jalani. Mungkin setelah menyadari kenyataan bahwa tidaklah semua sesuai seperti yang kita harapkan, kita bisa lebih menerima diri. Ketika kamu bersikap baik kepada seseorang, adalah hal yang lumrah bila dia juga baik terhadapmu. Namun tidak pula dipungkiri, ketika dirimu ‘jahat’ terhadap seseorang, masih ada kemungkinan dia pun masih baik kepadamu atau mungkin akan saya balik dan jabarkan agar lebih “relatable”.

Ketika kamu melakukan hal baik terhadap seseorang, bisa saja dia melakukan hal ‘jahat’ kepadamu, baik kamu berpura-pura buta atau benar-benar buta untuk melihat-rasakannya.

Ini bukan yang dialami banyak orang? atau bahkan kamu? Ketika kamu merasa telah memberikan 100% yang kamu mampu, justru pembalasannya adalah dengan rasa ‘sakit’. Ini berlaku dalam berbagai hal: karir; cinta; pertemanan; dan lainnya. Bukankah ini hal yang biasa? karena kamu hidup dalam sebuah ekspektasi-MU, bukanlah hidup dalam sebuah harapan. Eventhough, both of them are future-oriented, they ‘treat’ us differently.

“Hopes being driven primarily by a sense of preference and expectations being driven primarily by a sense of probability.” Sebuah kutipan dari sebuah jurnal medis oleh Karen K. Leung.

Hope is not limited by previous experience. We can hope for more than what we know. We can hope for something better. Our imaginations and dreams influence our hopes.

Expectations are limited to our previous experiences. We are unable to expect something that we haven’t seen before. We cannot expect something better than what we know.

- Jeremy Statton

Yang menjadi masalah sekarang adalah kendala rasa yang harus kita lalui dan atasi karena ekspektasi kita yang tidak terpenuhi.

Menarik? Iya. Manusia.. sosok yang rumit. 1 + 1 bukanlah lagi 2. Dengan segala rumus dan hukum alam yang kita ketahui, manusia salah satu yang dapat membelokkan hasil akhirnya. Terlalu banyak faktor yang berperan dalam hal ini, naluri, perasaan (rasa gengsi, malu, tidak layak, dendam, rasa membutuhkan (pengakuan)), pikiran (pikiran pendek, panjang, dangkal, dalam) dan pengalaman. Semua faktor ini membuat outcome dari segala usaha kita tidak selalu sesuai seperti yang KITA inginkan (read: expectation).

Apakah kamu sudah tahu apa yang benar-benar kamu rasakan?

Apakah kamu sudah tau apa yang kamu inginkan dan butuhkan?

Apakah kamu masih mau menaruh ekspektasi?

Atau

Kamu ingin menaruh harapan?

Meski sedikit.

--

--